Periode Kamakura (1185–1333) adalah salah satu era paling signifikan dalam sejarah Jepang, yang menandai awal sistem shogunat dan transisi dari pemerintahan kekaisaran yang terpusat ke sistem feodal yang lebih terfragmentasi. Pada masa ini, shogun (pemimpin militer) mulai memegang kekuasaan politik nyata, sementara kaisar tetap menjadi simbol negara tetapi kehilangan kontrol atas pemerintahan negara sehari-hari. Dinasti Kamakura didirikan oleh Minamoto no Yoritomo setelah kemenangan militer yang menentukan dalam Perang Genpei (1180–1185), yang mengakhiri dominasi keluarga Taira dan membuka jalan bagi pemerintahan militer yang baru.
Berikut adalah pembahasan mengenai pengaruh shogun terhadap keluarga kekaisaran dan pembentukan sistem feodal Jepang pada era Kamakura.
1. Dinasti Kamakura dan Pengaruh Shogun terhadap Keluarga Kekaisaran
a. Pendiri Shogunat Kamakura: Minamoto no Yoritomo
Setelah memenangkan Perang Genpei (1180-1185) melawan keluarga Taira, Minamoto no Yoritomo mendirikan shogunat Kamakura pada tahun 1192. Meskipun kaisar Go-Toba secara resmi melantik Yoritomo sebagai shogun, kekuasaan politik sebenarnya sudah mulai beralih ke tangan shogun. Shogun menjadi pemimpin militer tertinggi di Jepang, sementara kaisar, yang awalnya memiliki kekuasaan yang sangat besar, berfungsi lebih sebagai simbol negara dan pelindung budaya, tanpa keterlibatan langsung dalam urusan pemerintahan sehari-hari.
b. Kekuasaan Shogun dan Pemerintahan Militer
Meskipun kaisar tetap berada di Kyoto dan menjalankan fungsi keagamaan serta simbolis, shogun memegang kendali penuh atas urusan politik, militer, dan administrasi negara. Dengan kata lain, meskipun kaisar tetap merupakan figur yang dihormati dan dihargai, shogun seperti Minamoto no Yoritomo dan penerusnya memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan negara dan mengelola urusan domestik dan militer.
Sebagai contoh, pada masa pemerintahan shogun Kamakura, kekaisaran tidak lagi dapat mengendalikan pemerintahan negara, sementara shogun yang berkuasa, diwakili oleh jendral militer dan birokrasi yang terdiri dari samurai, bertanggung jawab atas keamanan, sistem perpajakan, dan administrasi wilayah.
c. Hubungan Shogun dan Kaisar
Pada awal periode Kamakura, hubungan antara Minamoto no Yoritomo (shogun pertama) dan kaisar Go-Toba cukup harmonis. Namun, hubungan ini mulai terbelah ketika shogun Kamakura merasa semakin kuat dan mandiri, sementara kaisar berusaha untuk mempertahankan otoritas kekaisarannya. Pada tahun 1221, kaisar Go-Toba mencoba melakukan pemberontakan untuk merebut kembali kekuasaan dari shogun Kamakura, yang dikenal dengan Perang Jokyu. Pemberontakan ini gagal total, dan kaisar Go-Toba dihukum oleh shogun Kamakura, yang mengirimnya ke pengasingan. Peristiwa ini menandai titik balik dalam hubungan antara shogun dan keluarga kekaisaran: shogun semakin kuat, sementara kaisar semakin terpinggirkan.
2.Pembentukan Sistem Feodal Jepang
a. Apa itu Sistem Feodal?
Pada periode Kamakura, Jepang secara bertahap mengadopsi sistem feodal yang mengatur hubungan antara penguasa wilayah (daimyō), samurai, dan rakyat. Sistem feodal ini didasarkan pada loyalitas dan pemberian tanah sebagai imbalan atas jasa militer. Dalam sistem ini, ada beberapa lapisan kelas yang terstruktur dengan jelas, yang berfokus pada kesetiaan dan kewajiban antara tuan tanah dan pengikutnya.
Struktur Feodal Kamakura terdiri dari tiga lapisan utama:
Shogun: Pemimpin militer tertinggi yang memegang kendali atas negara secara keseluruhan.
Daimyō: Penguasa wilayah atau feodal yang mengendalikan sebagian besar daerah Jepang dan memiliki pasukan samurai mereka sendiri.
Samurai: Kelas prajurit yang melayani daimyō dengan kesetiaan dan melindungi tanah serta rakyat mereka.
b. Kekuasaan Shogun Kamakura dan Pemerintahan Daerah
Shogun Kamakura mengorganisasi pemerintahan dengan cara yang memusatkan kontrol atas wilayah-wilayah tertentu melalui daimyō. Setiap daimyo memiliki tanah dan kekuatan militer mereka sendiri, tetapi mereka harus setia kepada shogun Kamakura dan memberikan pasukan samurai mereka jika dibutuhkan dalam perang atau untuk melawan pemberontakan.
Shikken adalah pejabat yang ditunjuk oleh shogun untuk mengatur urusan sehari-hari dan memimpin pemerintahan saat shogun tidak dapat melakukannya. Sebagai contoh, keluarga Hojo yang merupakan keluarga penerus Minamoto, memegang posisi shikken selama periode Kamakura dan secara efektif mengendalikan kekuasaan politik, meskipun shogun Minamoto masih tetap menjadi pemimpin nominal.
c. Hak dan Kewajiban dalam Sistem Feodal
Sistem feodal Kamakura berdasarkan pada hubungan antara tuan dan pelayan, yang dikenal sebagai vassal atau hōshi dalam bahasa Jepang. Para samurai (prajurit) yang menjadi bagian dari kekuasaan shogun dan daimyo harus memberikan loyalitas dan layanan militer sebagai imbalan atas hadiah tanah dan penyediaan sumber daya oleh tuan mereka. Di sisi lain, tuan tanah (daimyō atau shogun) berkewajiban untuk melindungi samurai mereka, memberikan tanah untuk mereka mengelola, dan memastikan kestabilan serta ketertiban.
Selain itu, dengan adanya sistem perpajakan yang lebih terorganisir pada masa ini, shogun dan daimyo dapat mengumpulkan pajak dari petani dan rakyat mereka sebagai imbalan atas perlindungan dan keamanan yang diberikan oleh samurai.
d. Sistem Hakim dan Pengadilan
Sistem peradilan pada masa Kamakura juga menjadi lebih terorganisir dengan pengadilan-pengadilan militer yang dibentuk oleh shogun dan para daimyo. Salah satu ciri khas dari pemerintahan Kamakura adalah peran samurai sebagai penegak hukum dan pembuat keputusan hukum. Para samurai tidak hanya bertugas sebagai prajurit, tetapi juga memiliki peran dalam pemerintahan lokal dan pengelolaan masalah hukum.
e. Penyebaran Agama dan Budaya pada Masa Kamakura
Meskipun shogun Kamakura lebih fokus pada urusan militer dan pemerintahan, budaya Jepang tetap berkembang dengan pesat pada masa ini, terutama dengan penyebaran Buddhisme Zen dan Buddhisme Pure Land yang mendapat tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Buddhisme Zen sangat dihargai oleh kalangan samurai karena ajaran tentang disiplin diri, keheningan, dan meditasi yang sesuai dengan filosofi mereka.
Selain itu, seni kerajinan tangan, pertunjukan teater Noh, dan sastra juga mengalami perkembangan meskipun dunia aristokrat telah terpinggirkan oleh dominasi samurai. Matsuri (festival) dan ritual keagamaan yang dilaksanakan di bawah naungan shogun Kamakura juga mencerminkan keterikatan kuat antara Buddhisme dan sistem feodal yang ada pada masa itu.
Pada periode Kamakura, kekuasaan politik Jepang mengalami pergeseran besar, di mana shogun mengambil alih kendali politik yang sebelumnya ada pada kaisar dan keluarga bangsawan. Minamoto no Yoritomo, sebagai pendiri shogunat Kamakura, meletakkan dasar bagi pembentukan sistem feodal yang mengatur hubungan antara shogun, daimyō, dan samurai. Meskipun kaisar tetap menjadi simbol negara dan spiritual, kekuasaan nyata berada di tangan shogun, yang memiliki kendali atas urusan militer dan administrasi negara. Sistem feodal ini, yang didasarkan pada loyalitas dan pemberian tanah, tetap menjadi fondasi struktur pemerintahan Jepang selama berabad-abad setelahnya.